Ilmu: bebas nilai atau tidak bebas nilai
Rasionalisasi ilmu pengetahuan terjadi sejak Descartes dengan sikap skeptic-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang sedang ragu. Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Tokoh sosiologi, Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu social harus menjadi nilai yang relevan. Kehati-hatian Weber dalam memutuskn apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan cirri mutlak ilmu pengetahuan, sedang di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Oleh karena itu perlu dirumuskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan bebas nilai itu?. Josep Situmorag menyatakan bahwa bebas nilai adalah artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Paling tidak, ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai, yaitu:
1. Ilmu harus bebas dari pengandaian-pengandaian yakni bebas dari pengaruh eksternal.
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. [8]
3. Ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis.
Namun disisi lain, ada yang berpendapat bahwa netralitas ilmu trehadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunannya haruslah berdasarkan nilai-nilai moral. Golongan ini mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni :
1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuan.
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu data mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan social.
Jadi kebenaran suatu ilmu pengetahuan tidak semata mengejar kebenaran yang bebas niali melainkan selalu terkait dengan kemungkinan terwujudnya kebahagiaan manusia pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar